Cerpen
Avianti Armand (Koran Tempo, 24 Januari 2010)
MENUNGGU
Tak
ada yang berubah di kafe ini. Gebyok kayu yang jadi aling-aling, tetap berada
di situ. Seperti cadar pengantin yang malu-malu, lubang-lubang ukirannya
mengijinkan mata mencuri intip ke ruang di baliknya. Cahaya merembes lewat
celah di antara genteng tanah liat, menggambar lingkaran-lingkaran acak di
lantai terakota. Angin mengisik. Bau debu mengambang samar di udara, bercampur
dupa yang sengaja dibakar untuk menyamarkannya. Tak ada musik. Hanya lonceng
angin yang sekali-sekali mendenting.
Aku
duduk di sudut. Hanya ada satu tamu lain, seorang perempuan yang duduk di meja
dekat gentong besar. Di atas gentong itu tergantung sebuah potret hitam putih
wanita berkebaya, dengan dua tangan rapi di pangkuan. Aneh. Keduanya punya
ekspresi yang serupa. Gelisah, seperti orang yang kebelet pipis. Perempuan
dalam foto, mungkin tak ingin difoto dan berharap sesi pemotretan cepat
selesai. Perempuan di dekat gentong, mungkin tak ingin berada di sini, tapi aku
tak bisa menebak apa yang dia harapkan. Perempuan dalam foto, dibekukan oleh
waktu, cuma bisa diam. Perempuan dekat gentong, dari tadi tidak bisa diam. Dia
seperti duduk di atas kursi panas. Berulang kali mengubah letak pantatnya. Berulang
kali memeriksa jam tangannya. Dan telepon genggamnya yang tak juga berbunyi.
Apakah dia menunggu seseorang, seperti aku? Seorang kekasih yang sudah lama tak
jumpa?
“Aku
terus memikirkanmu semalaman,”desahnya di telepon.
Aku
memikirkanmu penuh dari detik ke detik. Kamu bahkan mengisi digit-digit
terkecil pergeseran waktuku. Kamu menghuniku penuh-penuh hingga tak ada lagi
ruang untukku dalam diriku. Aneh bukan?
“Aku
ingin menciummu,” lalu terdengar suara kecupan lembut.
Aku
terus mencium bayanganmu. Saat mataku terpejam, terbuka, terpejam lagi. Aku
mencium tiap jengkal darimu lekat-lekat.
“Pakai
baju apa hari ini? Aku ingin membayangkanmu.”
Hari
ini aku berdandan untuknya. Jadi, hari ini, dia harus datang. Dia bilang, hari
ini dia pasti datang.Tapi dia selalu bilang begitu. Juga pada entah berapa kali
kencan yang dia batalkan. Selalu pada saat-saat terakhir. Selalu pada saat
kangenku sudah berubah jadi perih yang menusuk ulu hati. Alasannya itu-itu
juga: istrinya. Istrinya selalu curiga dan menyelidik. Jadi, dia harus sangat
berhati-hati.
Padahal
aku cuma ingin berjumpa. Hanya untuk sekedar bercerita. Betapa banyak yang
ingin kuceritakan padanya. Lewat telepon tentu tidak cukup, karena aku ingin
menatap wajahnya. Menatap matanya. Menikmati tawanya yang memancing tawa.
Mencium baunya yang selalu wangi tembakau. Jika mungkin, mencium bibirnya yang
selalu manis. Itu bisa kita lakukan nanti, sambil sembunyi-sembunyi di lorong
ke kamar mandi. Membayangkan itu semua, membuatku bahagia. Tapi dia harus
datang dulu.Tak boleh tidak.
Tiba-tiba
pintu masuk terbuka. Aku langsung menoleh. Hatiku seketika melonjak, berdebur
binal tak terkendali dalam rongga dada yang sempit, menahan harap. Lewat ekor
mataku, kulihat kepala perempuan itu juga terangkat. Wajahnya cemas. Duduknya
makin tak jelas, seperti hendak melompat. Kini seseorang telah datang. Entah
untuk siapa. Tapi aling-aling itu menunda kemunculannya, membuat waktu seperti
jam karet dengan elastisitas tinggi. Napasku tertahan. Lalu, seperti dalam
gerakan slow motion, dia muncul.
Matanya
menangkapku. Tapi dengan segera berpaling ke arah perempuan di dekat gentong.
Wajahnya tiba-tiba pucat seperti mayat. Seper sekian detik sebelum aku bangun
dan memanggil namanya, bibirnya mengucap, “Ma?” Lalu dia berjalan, bukan ke
arahku, tapi mendekati perempuan tadi, tanpa sekalipun menoleh padaku.
Perempuan itu berdiri. Aku membeku. Cuma mataku yang sanggup bergerak mengikuti
apa yang terjadi.
Mereka
berpelukan kaku, saling mencium pipi dengan sopan, lalu duduk berhadapan. Susah
payah ia memaksakan sebuah senyum. “Kok Mama bisa ada di sini?” Suaranya
gemetar. “Iseng. Cuma mau makan siang habis belanja. Sudah lama, kan, aku tidak
kemari. Dan, surprise, kamu juga ke sini.” Perempuan itu menjawab dengan
suara yang terlalu cerah. Ia kelihatan tenang sekarang. Bahkan—mungkin ini cuma
perasaanku saja—menang. Laki-laki itu mengangguk-angguk. Tubuhnya tegang, tapi
lambat laun ia mulai mencair. Setelah beberapa basa-basi, ia bisa menyandar
dengan sedikit rileks. Beberapa kali matanya mengirim permintaan maaf yang
samar. Meski begitu, beberapa kali juga tangannya mengusap punggung telapak
perempuan itu. Sesudahnya, aku tak lagi bisa mendengar apa yang mereka
bicarakan dengan wajah serius. Sesudahnya, aku cuma sanggup mengonggok di
sudut.
Sepuluh
menit. Setengah jam. Satu setengah jam. Pukul 14.07. Arlojiku menjelaskan,
sudah sekitar dua jam aku di sini. Ada dua belas orang lain sekarang yang makan
dan minum dengan senang. Aku cuma sanggup menghabiskan gelas demi gelas kopi
pahit. Pasir telah tuntas turun mengendap di rongga dada. Aku merasa berat.
Tapi aku punya pilihan.
Di
atas gentong, perempuan dalam foto telanjur dibekukan oleh waktu. Ia terpaksa
menunggu. Selamanya.
JARAK
Ingatan
adalah jarak yang memisahkan detik ini dengan cintanya. Tapi juga satu-satunya
yang menghubungkan. Selain itu, dia tak punya apa-apa lagi. Terakhir kali
mereka bertemu, perempuan itu memintanya melupakannya. Ia mengatakannya dengan
ringan, “Lupakan saja kalau kita pernah bertemu.” Seolah-olah menyuruhnya
melupakan Koran hari ini yang tertinggal di kamar mandi. Lalu ia berlalu.
Perempuan
itu memang tak pernah datang lagi. Tak pernah menelpon atau mengiriminya email
lagi. Tapi punggungnya adalah hal pertama yang dilihatnya begitu dia
membuka mata. Juga belakang kepalanya yang mungil. Dan kakinya yang melangkah
menjauh. Seolah-olah peristiwa pergi itu baru saja terjadi. Dekat sekali.
Berulang kali.
Dia
jadi sering bertanya-tanya. Berapa jauh dari sini ke sepotong blueberry
cheesecake yang malam itu mereka habiskan berdua? Berapa kilometer yang
harus ditempuh untuk mengulang hujan yang membuat mereka hangat selain basah?
Berapa kelokan sebelum dia mencapai pematang yang satu siang jelatangnya
melukai betis perempuan itu?
“Berapakah
jarak dari sini ke waktu itu?” Ia melontarkan pertanyaan itu pada siapa saja.
Tapi tak ada yang tahu jawabnya. Atau mungkin mereka tahu, hanya tak ada yang
berani pergi. “Perjalanan itu, teman,” kata seseorang akhirnya,“akan memakan
waktu satu hati saja.”
Dia
memejamkan mata. Menghitung dalam kepala dengan rumus yang hanya dia yang tahu.
Kalau mungkin, dia sangat ingin menempuhnya.
PERGI
Bulan
ketiga di musim penghujan. Catatan di kalender menunjukkan ia telah pergi
terlalu lama. Tanggal-tanggal yang bersilang merah. Sebenarnya, tanpa itu pun telingaku
telah tahu. Beberapa kali belakangan ini aku mulai sering mendengar bunyi kunci
pintu depan diputar. Selalu selepas tengah malam. Tapi tak ada yang datang.
Bahkan tak ada pintu yang membuka. Cuma malam yang lewat seperti biasa. Senyap.
Sebentar
lagi tahun ini akan habis. Kalender yang merekam jejaknya terpaksa harus
kuganti dengan yang baru. Mungkin kain sofa yang telah lusuh itu juga. Dan kap
lampu berenda yang membungkuk di meja sudut. Barang itu terlalu out of date untuk
gaya interior minimalis yang sedang jadi tren. Kursi rotan tua yang telah lepas
ikatannya itu tampaknya juga mesti kurelakan. Sepertinya memang banyak yang
harus kulepas. Cermin kuningan di dinding. Karpet Persia palsu buatan Cina. Menagerie
gelas warisan ibu. Tapi, rasanya, tidak bingkai-bingkai di atas piano.
Foto-foto lama. Dia dan aku. Tanpa bisa kubendung, arus sungai menggeret masa
lalu ke depan pintu.
Selalu
dia dan aku. Aku dan dia. Ada saja orang yang bisa dimintai tolong untuk
memotret dia dan aku. Aku dan dia. Berciuman. Berpelukan. Berpegangan tangan.
Tertawa. Nyengir kuda. Melotot kaget. Juga cemberut monyong di depan bioskop.
Aku ingat, waktu itu dia marah karena aku terlambat membeli tiket nonton
film—lupa judulnya—di malam Minggu. Acara nonton diganti dengan saling diam di
teras rumah. Bukan, bukan saling. Dia diam, sementara aku terus berusaha
memecah bisunya yang sekeras batu. Sampai akhirnya aku menyerah dan pergi
karena lelah. Malam itu aku terpaksa tidur di hotel murah. Ah, dia memang
sering marah karena hal-hal sepele.
Seperti
ketika aku salah membelikan soto untuknya. “Kudus! Bukan Lamongan!” Aku, yang
sulit mengingat nama-nama tempat, cuma bisa berdalih lemah,“Sama-sama di Jawa,
kan?” Dia makin marah.“Yang satu di Jawa Tengah, yang lain di Jawa Timur!”
amuknya. “Lagian sotonya juga beda, tauk!” Lalu ia membanting
pintu kamar, tak jadi makan malam, dan tak keluar lagi sampai keesokan hari.
Soto dan aku sama-sama tak laku. Tapi kali itu aku tak tidur di hotel murah.
Cuma di sofa ruang duduk berselimutkan handuk.
Masih
banyak malam-malam lain yang kuhabiskan dengan sofa dan handuk. Selalu dengan
alasan-alasan yang sederhana: aku telat menjemputnya di kantor, aku alpa
mengambil laundry, salah meletakkan remote tivi, salah memencet
nomer telepon, terlalu banyak menaburkan lada hitam di atas steak-nya,
terlalu geli tertawa, atau terlalu keras menyanyi di kamar mandi. Ia seperti
punya seribu dua alasan untuk marah. Aku tak punya satu pun. Terlalu cinta? Ia
akan dengan segera bilang, “Gombal!”
Tapi,
di hari ia pergi, ia tak marah. Juga tak mengatakan sepatah kata pun. Ia cuma
membawa segalanya dan meninggalkan dencing kunci pintu depan yang saling beradu
di atas meja. Di hari ia pergi,aku tak menangis. Tak bisa. Mungkin karena
sesungguhnya, tanpa pernah mau kuakui, aku tahu ia telah lama pergi.
PULANG
Bulan
tidak perak. Kali ini warnanya kuning gelap, sedikit pudar dengan bopeng
kehitaman yang menjadikannya kurang cantik. Tapi lingkarnya sempurna dan besar.
Ia seolah datar, tersangkut begitu saja seperti layangan putus di tepi siluet
bukit—setunjukan jauhnya—di sana.
Ke
sana kamu akan pergi? Kamu mengangkat bahu sekali. Tak tahu. Tak pasti. Yang
pasti hanyalah: kamu ingin pergi. Bukan karena tak mencintaiku lagi, tapi
karena cintaku membebanimu. Begitu berat, hingga kamu tak bisa bergerak. Penuh,
seperti orang kekenyangan. Satu-satunya cara yang bisa kamu pikirkan adalah
berhenti mengkonsumsi cintaku. Satu-satunya cara yang kamu tahu adalah: pergi.
Aku
menatap matamu. Sesuatu yang tajam pasti telah menusuk ulu hatiku, membuatnya
ngilu bukan main, membuat mataku seketika berair. Mungkin karena aku tak bisa
berhenti. Seperti mata air, aku akan luap jika tak mengalir. Tapi memintamu
tinggal juga tak mungkin—aku terlalu mencintaimu—meski tetap tak mengerti
mengapa hal itu bisa jadi beban. Dan kamu telah bicara jujur.
Maka,
bisikku: pergilah. Kamu terkejut. Mungkin menyangka aku akan menahanmu. Bibirmu
sedikit bergetar. Susah payah kamu menahannya. “Sungguh?” Kamu masih tak
percaya. Aku mengangguk. “Kenapa?” Berdirimu tiba-tiba limbung. Kamu berpindah
dari satu kaki ke kaki lain. Niatmu yang semula bulat, kini seperti limau
terpotong yang disangkutkan ke bibir gelas es tehmu—menggantung tak jelas.
Hampir lepas.
Kebebasan
ini seketika menjadi menakutkan. Hidupmu tiba-tiba akan jadi balon udara tanpa
kantong pasir dan jangkar. Hidupku tiba-tiba akan jadi balon kempes, tanpa
udara yang bisa melambungkannya.Tapi aku tak penting. Kamulah yang penting
dalam hidupku. Aku diam. Kamu diam. Aku tahu, kamu ingin pergi. Maka aku
mengangguk lagi. Meski tak begitu mantap.
Karena,
jawabku, jika kamu tak pergi, bagaimana kamu akan tahu jalan pulang?
RUMAH
Ia
suka cara perempuan itu mengusap pipinya. Lembut, dengan ujung telunjuk yang
menyusuri kerut wajah. Hatinya selalu berdebar lugu setiap kali perempuan itu
menggenggam tangannya. Kuat-kuat, seakan takut lepas. Ia juga gemas dengan
cemberutnya. Bibir perempuan itu akan meruncing, sedikit lebih maju dari
hidungnya. Biasanya karena cemburu yang tak pernah lama pada pacar-pacar lama.
Tapi ia paling tak tahan jika perempuan itu menatap ke dalam matanya. Ia akan
terpana seperti kena sihir dari bibir yang tanpa suara mengucap, I love you.
Hanya matanya yang akan sanggup bereaksi wajar—basah dan tumpah. Selebihnya
sunyi.Tak seperti sekarang, saat ia sendiri.
Jam
sepuluh malam. Dari ruang sebelah terdengar suara televisi. Desperate House
Wives. Entah musim yang ke berapa. Istrinya tak pernah melewatkannya walau
sudah dua kali tayang. Di dapur, pembantu-pembantu mengobrol pelan tanpa
sanggup menyembunyikan logat kental mereka yang, entah kenapa, selalu
membuatnya kesal. Di jalan, mobil-mobil yang bersliweran terdengar seperti
nyamuk dengan loudspeaker. Ia tak tahu di mana kedua anaknya berada.
Mungkin asyik di kamar masing-masing dengan teman-teman maya. Mungkin saja di
tempat-tempat dugem dengan teman-teman yang nyata. Semakin lama, mereka
semakin asing. Semakin lama, ia semakin tak peduli.
Ia
lelah. Di usianya yang sekarang, ia sungguh ingin pulang. Tapi rumahnya bukan
di sini, melainkan di sebuah kamar dengan pintu geser besar dari kayu yang
hanya terbuka jika perempuan itu datang. Entah kapan lagi.
KOSONG
Lagi-lagi
langkah kakinya di koridor yang kosong. Dua ketuk di tiap langkah—tumitnya
selalu mendarat lebih dulu—enam perdelapan dengan tempo sedang. Aku hafal
sekali. Sekarang jam enam. Dia cuma ke bawah untuk mengambil koran pagi, lalu
kembali. Setelah itu, K kekasihku, akan membuat kopi. Baunya akan menyebar ke
mana-mana, termasuk kamarku. Meski tak pernah sarapan, dengan baik hati, dia
selalu menawarkan untuk memanggangkan roti atau membuatkan scrambled egg untukku.
Roti panggang dan scrambled egg paling enak sedunia. K selalu tertawa
kalau aku bilang begitu. Tawa paling merdu sedunia.
Tapi
itu belum seberapa dibanding jika dia menembang, nyanyian yang telah kukenal
sedari dulu. Simbah kerap mendendangkannya sambil menidurkanku di amben bambu
bawah pohon. Tentang tanah hijau dan angin yang mengalir.Tentang anak gembala
dan sebatang belimbing. Baju sobek yang butuh ditambal dan satu sore yang tak begitu
jelas. Yang kutahu cuma satu kata: rembulan. Mungkin ada bulan di padang yang
membuat anak-anak bersorak—hiyo!
Simbah
bilang, lagu itu diciptakan oleh Kanjeng Sunan – entah yang mana. Simbah
percaya, ada ajaran agama tersembunyi dalam larik-lariknya. K cuma tertawa.
Katanya, lagu itu sekedar kekaguman Sang Sunan pada keajaiban yang sederhana.
Simbah selalu membuatku tertidur. K, sebaliknya, menggelar dunia gaib dalam
lagu untuk kujelajahi. Aku selalu nglangut, seketika hanyut.
Dia
akan memasang rembulan di langit-langit sebelum memulai segalanya. Sebelum aku
telentang di bawahnya. Sebelum dia membuka baju dan melipatnya satu-satu, lalu
berbaring di sebelahku. Aku akan memeluknya dengan lembut. K akan mengelus
kepalaku lalu menembangkan lagu itu. Mataku akan tertutup tapi tak tidur.
lir
ilir lir ilir tandure wong sumilir
tak
ijo royo royo
tak
sengguh panganten anyar
cah
angon cah angon penekna blimbing kuwi
lunyu
lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira
dodotira
dodotira kumintir bedah ing pinggir
dondomana
jrumatana kanggo seba mengko sore
mumpung
padang rembulane
mumpung
jembar kalangane
sun
suraka surak hiyo
Aku
adalah padang yang semi. Dia berubah angin yang mengaliriku. Aku menjelma pohon
yang licin. Dia anak gembala yang gigih memanjatku. Belimbingku akan penuh
berair. Dia akan melahapnya dengan rakus. Dan kita jadi sama-sama koyak seperti
baju itu. Sesudahnya aku dan dia akan saling basuh hingga bersih, sebelum dia
menanggalkan rembulan itu dari langit-langit kamar, dan meninggalkanku penuh
terjaga karena kekaguman sederhana yang tak habis-habis. Akan dia.
Lagi-lagi
ketukan di pintu itu. Tiga kali dengan jeda seperempat detik di antaranya. Aku
hapal sekali. Setelah dua tahun berbagi apartemen yang sama, tak ada yang tak
kutahu tentang dia. Begitu kubuka, akan kutemukan wajah yang manis dan rambut
awut-awutan, dengan mata sebening merjan dan senyum selebar wajan. “Sarapan?”
ajaknya selalu. Aku akan membuntut di belakangnya seperti anjing yang setia—ke pantry
kecil di sebelah ruang makan. Lalu pagi akan mulai dengan kopi, telur atau
roti, dan cerita-ceritanya yang tak pernah basi.
Aku
menunggu lagi. Tapi ketukan itu tak kembali. Tak ada juga suara langkah kaki di
koridor yang kosong. Sesuatu yang padat tiba-tiba mengganjal di kerongkongan.
Mataku mulai lembab. Di luar, salju turun pelan-pelan, membuat yang berwarna
menjadi pucat. Yang pernah putih pun diputihkan lagi—jalan, atap-atap mobil,
pohon-pohon dengan ranting yang kurus telanjang. Juga kanal lebar yang biasanya
memantulkan langit.Tibatiba tembang itu terasa jauh. Sejauh padang hijau dan
anak-anak gembala yang memanjat belimbing. Negeri itu telah lenyap sejak dia
melangkah pergi dan menutup pintu di belakangnya.
Aku
ingat pagi itu. Satu hari yang putih seperti ini. Satu hari setelah apa yang
harus dilakukannya di sini selesai. K harus pulang. Aku bertanya, “Maukah kamu
tinggal?” Dia cuma diam. “Maukah kamu memilih aku?” Dia cuma menangis.
Akhirnya
dia berdiri di pintu dan pergi tanpa berkata apa-apa. Tapi K menyanyikan
tembang itu sekali lagi supaya gemanya tinggal di tembok, di kasur, di sofa
tua, dan terutama, di langit-langit. Dia pikir begitu. Sedetik setelah dia
pergi, langit-langit itu kosong. Dia lupa memasang rembulan. Aku berdiri di
pintu yang sama dan cuma bisa melihat: dia pernah di sini. (*)
Sumber:
http://lakonhidup.wordpress.com/2010/01/28/tentang-tak-ada/