Twitter: @Nickname_Rendy
e-mail: Rendymertadiwangsa@gmail.com

Tips Liburan (ngocol)


Tips-tips Liburan

Kalo mau liburan yang menyenangkan,kalian harus baca panduan ini. Kalo ga menyenangkan, salah sendiri.  Oke, ikuti tips-tips berikut.
1.      Kamu harus hidup. Ga mungkin kan kalo ga hidup, kamu bisa liburan? Yang ada malah tahlilan, dan itu ga menyenangkan sama sekali.
2.      Harus hari libur. Gimana caranya mau liburan kalo ga ada hari libur. Bener ga? Cari hari libur dulu, baru bisa liburan.
3.      Punya pacar. Ini ga wajib sih, tapi saya jamin kalo kalian punya pacar, 150% liburan kalian menyenangkan. Tapi kalo jomblo, terserah sih. Sapa suruh ga laku?
4.      Harus punya uang. Kalo ga ada uang, trus liburannya gimana? Mau dikamar aja? Ga akan menyenangkanlah. Apalagi kalo kalian punya pacar, harus ada uang lebih. Disinilah kelebihan kaum jomblo.
5.      Harus punya tujuan liburan. Ga mau galau ditengah jalan kan? Kalo ga ada tujuan, mentoknya di kamar juga. Ga menyenangkan. Makanya cari referensi tempat liburan yang bagus dan jadikan tempat tujuan.
Nah kalo kalian udah ikutin panduannya, cek kembali hari liburan kalian, dan pastikan kalo hari itu memang libur. Jangan kaya “mereka”, hari yang ga libur malah dibikin libur. Bikin kotor kota Palu tercinta. Tapi ada yg lebih parah, ngakunya studi kasus padahal itu modus supaya bisa liburan gratis make uang rakyat. Haram liburan kalian, bung! Kalo ga mau kota Palu yg stagnan, carilah liburan yang halal, mulai dari harinya sampe dananya. Memperbaiki yang negative jauh lebih baik mulai dari kegiatan positive, liburan salah satunya. Selamat liburan! (@nickname_rendy)

Hidup Jurnalis!!!

Tentang Tak Ada


Cerpen Avianti Armand (Koran Tempo, 24 Januari 2010)

MENUNGGU
Tak ada yang berubah di kafe ini. Gebyok kayu yang jadi aling-aling, tetap berada di situ. Seperti cadar pengantin yang malu-malu, lubang-lubang ukirannya mengijinkan mata mencuri intip ke ruang di baliknya. Cahaya merembes lewat celah di antara genteng tanah liat, menggambar lingkaran-lingkaran acak di lantai terakota. Angin mengisik. Bau debu mengambang samar di udara, bercampur dupa yang sengaja dibakar untuk menyamarkannya. Tak ada musik. Hanya lonceng angin yang sekali-sekali mendenting.
Aku duduk di sudut. Hanya ada satu tamu lain, seorang perempuan yang duduk di meja dekat gentong besar. Di atas gentong itu tergantung sebuah potret hitam putih wanita berkebaya, dengan dua tangan rapi di pangkuan. Aneh. Keduanya punya ekspresi yang serupa. Gelisah, seperti orang yang kebelet pipis. Perempuan dalam foto, mungkin tak ingin difoto dan berharap sesi pemotretan cepat selesai. Perempuan di dekat gentong, mungkin tak ingin berada di sini, tapi aku tak bisa menebak apa yang dia harapkan. Perempuan dalam foto, dibekukan oleh waktu, cuma bisa diam. Perempuan dekat gentong, dari tadi tidak bisa diam. Dia seperti duduk di atas kursi panas. Berulang kali mengubah letak pantatnya. Berulang kali memeriksa jam tangannya. Dan telepon genggamnya yang tak juga berbunyi. Apakah dia menunggu seseorang, seperti aku? Seorang kekasih yang sudah lama tak jumpa?

“Aku terus memikirkanmu semalaman,”desahnya di telepon.
Aku memikirkanmu penuh dari detik ke detik. Kamu bahkan mengisi digit-digit terkecil pergeseran waktuku. Kamu menghuniku penuh-penuh hingga tak ada lagi ruang untukku dalam diriku. Aneh bukan?
“Aku ingin menciummu,” lalu terdengar suara kecupan lembut.
Aku terus mencium bayanganmu. Saat mataku terpejam, terbuka, terpejam lagi. Aku mencium tiap jengkal darimu lekat-lekat.
“Pakai baju apa hari ini? Aku ingin membayangkanmu.”
Hari ini aku berdandan untuknya. Jadi, hari ini, dia harus datang. Dia bilang, hari ini dia pasti datang.Tapi dia selalu bilang begitu. Juga pada entah berapa kali kencan yang dia batalkan. Selalu pada saat-saat terakhir. Selalu pada saat kangenku sudah berubah jadi perih yang menusuk ulu hati. Alasannya itu-itu juga: istrinya. Istrinya selalu curiga dan menyelidik. Jadi, dia harus sangat berhati-hati.
Padahal aku cuma ingin berjumpa. Hanya untuk sekedar bercerita. Betapa banyak yang ingin kuceritakan padanya. Lewat telepon tentu tidak cukup, karena aku ingin menatap wajahnya. Menatap matanya. Menikmati tawanya yang memancing tawa. Mencium baunya yang selalu wangi tembakau. Jika mungkin, mencium bibirnya yang selalu manis. Itu bisa kita lakukan nanti, sambil sembunyi-sembunyi di lorong ke kamar mandi. Membayangkan itu semua, membuatku bahagia. Tapi dia harus datang dulu.Tak boleh tidak.
Tiba-tiba pintu masuk terbuka. Aku langsung menoleh. Hatiku seketika melonjak, berdebur binal tak terkendali dalam rongga dada yang sempit, menahan harap. Lewat ekor mataku, kulihat kepala perempuan itu juga terangkat. Wajahnya cemas. Duduknya makin tak jelas, seperti hendak melompat. Kini seseorang telah datang. Entah untuk siapa. Tapi aling-aling itu menunda kemunculannya, membuat waktu seperti jam karet dengan elastisitas tinggi. Napasku tertahan. Lalu, seperti dalam gerakan slow motion, dia muncul.
Matanya menangkapku. Tapi dengan segera berpaling ke arah perempuan di dekat gentong. Wajahnya tiba-tiba pucat seperti mayat. Seper sekian detik sebelum aku bangun dan memanggil namanya, bibirnya mengucap, “Ma?” Lalu dia berjalan, bukan ke arahku, tapi mendekati perempuan tadi, tanpa sekalipun menoleh padaku. Perempuan itu berdiri. Aku membeku. Cuma mataku yang sanggup bergerak mengikuti apa yang terjadi.
Mereka berpelukan kaku, saling mencium pipi dengan sopan, lalu duduk berhadapan. Susah payah ia memaksakan sebuah senyum. “Kok Mama bisa ada di sini?” Suaranya gemetar. “Iseng. Cuma mau makan siang habis belanja. Sudah lama, kan, aku tidak kemari. Dan, surprise, kamu juga ke sini.” Perempuan itu menjawab dengan suara yang terlalu cerah. Ia kelihatan tenang sekarang. Bahkan—mungkin ini cuma perasaanku saja—menang. Laki-laki itu mengangguk-angguk. Tubuhnya tegang, tapi lambat laun ia mulai mencair. Setelah beberapa basa-basi, ia bisa menyandar dengan sedikit rileks. Beberapa kali matanya mengirim permintaan maaf yang samar. Meski begitu, beberapa kali juga tangannya mengusap punggung telapak perempuan itu. Sesudahnya, aku tak lagi bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dengan wajah serius. Sesudahnya, aku cuma sanggup mengonggok di sudut.
Sepuluh menit. Setengah jam. Satu setengah jam. Pukul 14.07. Arlojiku menjelaskan, sudah sekitar dua jam aku di sini. Ada dua belas orang lain sekarang yang makan dan minum dengan senang. Aku cuma sanggup menghabiskan gelas demi gelas kopi pahit. Pasir telah tuntas turun mengendap di rongga dada. Aku merasa berat. Tapi aku punya pilihan.
Di atas gentong, perempuan dalam foto telanjur dibekukan oleh waktu. Ia terpaksa menunggu. Selamanya.

JARAK
Ingatan adalah jarak yang memisahkan detik ini dengan cintanya. Tapi juga satu-satunya yang menghubungkan. Selain itu, dia tak punya apa-apa lagi. Terakhir kali mereka bertemu, perempuan itu memintanya melupakannya. Ia mengatakannya dengan ringan, “Lupakan saja kalau kita pernah bertemu.” Seolah-olah menyuruhnya melupakan Koran hari ini yang tertinggal di kamar mandi. Lalu ia berlalu.
Perempuan itu memang tak pernah datang lagi. Tak pernah menelpon atau mengiriminya email lagi. Tapi punggungnya adalah hal pertama yang dilihatnya begitu dia membuka mata. Juga belakang kepalanya yang mungil. Dan kakinya yang melangkah menjauh. Seolah-olah peristiwa pergi itu baru saja terjadi. Dekat sekali. Berulang kali.
Dia jadi sering bertanya-tanya. Berapa jauh dari sini ke sepotong blueberry cheesecake yang malam itu mereka habiskan berdua? Berapa kilometer yang harus ditempuh untuk mengulang hujan yang membuat mereka hangat selain basah? Berapa kelokan sebelum dia mencapai pematang yang satu siang jelatangnya melukai betis perempuan itu?
“Berapakah jarak dari sini ke waktu itu?” Ia melontarkan pertanyaan itu pada siapa saja. Tapi tak ada yang tahu jawabnya. Atau mungkin mereka tahu, hanya tak ada yang berani pergi. “Perjalanan itu, teman,” kata seseorang akhirnya,“akan memakan waktu satu hati saja.”
Dia memejamkan mata. Menghitung dalam kepala dengan rumus yang hanya dia yang tahu. Kalau mungkin, dia sangat ingin menempuhnya.

PERGI
Bulan ketiga di musim penghujan. Catatan di kalender menunjukkan ia telah pergi terlalu lama. Tanggal-tanggal yang bersilang merah. Sebenarnya, tanpa itu pun telingaku telah tahu. Beberapa kali belakangan ini aku mulai sering mendengar bunyi kunci pintu depan diputar. Selalu selepas tengah malam. Tapi tak ada yang datang. Bahkan tak ada pintu yang membuka. Cuma malam yang lewat seperti biasa. Senyap.
Sebentar lagi tahun ini akan habis. Kalender yang merekam jejaknya terpaksa harus kuganti dengan yang baru. Mungkin kain sofa yang telah lusuh itu juga. Dan kap lampu berenda yang membungkuk di meja sudut. Barang itu terlalu out of date untuk gaya interior minimalis yang sedang jadi tren. Kursi rotan tua yang telah lepas ikatannya itu tampaknya juga mesti kurelakan. Sepertinya memang banyak yang harus kulepas. Cermin kuningan di dinding. Karpet Persia palsu buatan Cina. Menagerie gelas warisan ibu. Tapi, rasanya, tidak bingkai-bingkai di atas piano. Foto-foto lama. Dia dan aku. Tanpa bisa kubendung, arus sungai menggeret masa lalu ke depan pintu.
Selalu dia dan aku. Aku dan dia. Ada saja orang yang bisa dimintai tolong untuk memotret dia dan aku. Aku dan dia. Berciuman. Berpelukan. Berpegangan tangan. Tertawa. Nyengir kuda. Melotot kaget. Juga cemberut monyong di depan bioskop. Aku ingat, waktu itu dia marah karena aku terlambat membeli tiket nonton film—lupa judulnya—di malam Minggu. Acara nonton diganti dengan saling diam di teras rumah. Bukan, bukan saling. Dia diam, sementara aku terus berusaha memecah bisunya yang sekeras batu. Sampai akhirnya aku menyerah dan pergi karena lelah. Malam itu aku terpaksa tidur di hotel murah. Ah, dia memang sering marah karena hal-hal sepele.
Seperti ketika aku salah membelikan soto untuknya. “Kudus! Bukan Lamongan!” Aku, yang sulit mengingat nama-nama tempat, cuma bisa berdalih lemah,“Sama-sama di Jawa, kan?” Dia makin marah.“Yang satu di Jawa Tengah, yang lain di Jawa Timur!” amuknya. “Lagian sotonya juga beda, tauk!” Lalu ia membanting pintu kamar, tak jadi makan malam, dan tak keluar lagi sampai keesokan hari. Soto dan aku sama-sama tak laku. Tapi kali itu aku tak tidur di hotel murah. Cuma di sofa ruang duduk berselimutkan handuk.
Masih banyak malam-malam lain yang kuhabiskan dengan sofa dan handuk. Selalu dengan alasan-alasan yang sederhana: aku telat menjemputnya di kantor, aku alpa mengambil laundry, salah meletakkan remote tivi, salah memencet nomer telepon, terlalu banyak menaburkan lada hitam di atas steak-nya, terlalu geli tertawa, atau terlalu keras menyanyi di kamar mandi. Ia seperti punya seribu dua alasan untuk marah. Aku tak punya satu pun. Terlalu cinta? Ia akan dengan segera bilang, “Gombal!”
Tapi, di hari ia pergi, ia tak marah. Juga tak mengatakan sepatah kata pun. Ia cuma membawa segalanya dan meninggalkan dencing kunci pintu depan yang saling beradu di atas meja. Di hari ia pergi,aku tak menangis. Tak bisa. Mungkin karena sesungguhnya, tanpa pernah mau kuakui, aku tahu ia telah lama pergi.

PULANG
Bulan tidak perak. Kali ini warnanya kuning gelap, sedikit pudar dengan bopeng kehitaman yang menjadikannya kurang cantik. Tapi lingkarnya sempurna dan besar. Ia seolah datar, tersangkut begitu saja seperti layangan putus di tepi siluet bukit—setunjukan jauhnya—di sana.
Ke sana kamu akan pergi? Kamu mengangkat bahu sekali. Tak tahu. Tak pasti. Yang pasti hanyalah: kamu ingin pergi. Bukan karena tak mencintaiku lagi, tapi karena cintaku membebanimu. Begitu berat, hingga kamu tak bisa bergerak. Penuh, seperti orang kekenyangan. Satu-satunya cara yang bisa kamu pikirkan adalah berhenti mengkonsumsi cintaku. Satu-satunya cara yang kamu tahu adalah: pergi.
Aku menatap matamu. Sesuatu yang tajam pasti telah menusuk ulu hatiku, membuatnya ngilu bukan main, membuat mataku seketika berair. Mungkin karena aku tak bisa berhenti. Seperti mata air, aku akan luap jika tak mengalir. Tapi memintamu tinggal juga tak mungkin—aku terlalu mencintaimu—meski tetap tak mengerti mengapa hal itu bisa jadi beban. Dan kamu telah bicara jujur.
Maka, bisikku: pergilah. Kamu terkejut. Mungkin menyangka aku akan menahanmu. Bibirmu sedikit bergetar. Susah payah kamu menahannya. “Sungguh?” Kamu masih tak percaya. Aku mengangguk. “Kenapa?” Berdirimu tiba-tiba limbung. Kamu berpindah dari satu kaki ke kaki lain. Niatmu yang semula bulat, kini seperti limau terpotong yang disangkutkan ke bibir gelas es tehmu—menggantung tak jelas. Hampir lepas.
Kebebasan ini seketika menjadi menakutkan. Hidupmu tiba-tiba akan jadi balon udara tanpa kantong pasir dan jangkar. Hidupku tiba-tiba akan jadi balon kempes, tanpa udara yang bisa melambungkannya.Tapi aku tak penting. Kamulah yang penting dalam hidupku. Aku diam. Kamu diam. Aku tahu, kamu ingin pergi. Maka aku mengangguk lagi. Meski tak begitu mantap.
Karena, jawabku, jika kamu tak pergi, bagaimana kamu akan tahu jalan pulang?

RUMAH
Ia suka cara perempuan itu mengusap pipinya. Lembut, dengan ujung telunjuk yang menyusuri kerut wajah. Hatinya selalu berdebar lugu setiap kali perempuan itu menggenggam tangannya. Kuat-kuat, seakan takut lepas. Ia juga gemas dengan cemberutnya. Bibir perempuan itu akan meruncing, sedikit lebih maju dari hidungnya. Biasanya karena cemburu yang tak pernah lama pada pacar-pacar lama. Tapi ia paling tak tahan jika perempuan itu menatap ke dalam matanya. Ia akan terpana seperti kena sihir dari bibir yang tanpa suara mengucap, I love you. Hanya matanya yang akan sanggup bereaksi wajar—basah dan tumpah. Selebihnya sunyi.Tak seperti sekarang, saat ia sendiri.
Jam sepuluh malam. Dari ruang sebelah terdengar suara televisi. Desperate House Wives. Entah musim yang ke berapa. Istrinya tak pernah melewatkannya walau sudah dua kali tayang. Di dapur, pembantu-pembantu mengobrol pelan tanpa sanggup menyembunyikan logat kental mereka yang, entah kenapa, selalu membuatnya kesal. Di jalan, mobil-mobil yang bersliweran terdengar seperti nyamuk dengan loudspeaker. Ia tak tahu di mana kedua anaknya berada. Mungkin asyik di kamar masing-masing dengan teman-teman maya. Mungkin saja di tempat-tempat dugem dengan teman-teman yang nyata. Semakin lama, mereka semakin asing. Semakin lama, ia semakin tak peduli.
Ia lelah. Di usianya yang sekarang, ia sungguh ingin pulang. Tapi rumahnya bukan di sini, melainkan di sebuah kamar dengan pintu geser besar dari kayu yang hanya terbuka jika perempuan itu datang. Entah kapan lagi.

KOSONG
Lagi-lagi langkah kakinya di koridor yang kosong. Dua ketuk di tiap langkah—tumitnya selalu mendarat lebih dulu—enam perdelapan dengan tempo sedang. Aku hafal sekali. Sekarang jam enam. Dia cuma ke bawah untuk mengambil koran pagi, lalu kembali. Setelah itu, K kekasihku, akan membuat kopi. Baunya akan menyebar ke mana-mana, termasuk kamarku. Meski tak pernah sarapan, dengan baik hati, dia selalu menawarkan untuk memanggangkan roti atau membuatkan scrambled egg untukku. Roti panggang dan scrambled egg paling enak sedunia. K selalu tertawa kalau aku bilang begitu. Tawa paling merdu sedunia.
Tapi itu belum seberapa dibanding jika dia menembang, nyanyian yang telah kukenal sedari dulu. Simbah kerap mendendangkannya sambil menidurkanku di amben bambu bawah pohon. Tentang tanah hijau dan angin yang mengalir.Tentang anak gembala dan sebatang belimbing. Baju sobek yang butuh ditambal dan satu sore yang tak begitu jelas. Yang kutahu cuma satu kata: rembulan. Mungkin ada bulan di padang yang membuat anak-anak bersorak—hiyo!
Simbah bilang, lagu itu diciptakan oleh Kanjeng Sunan – entah yang mana. Simbah percaya, ada ajaran agama tersembunyi dalam larik-lariknya. K cuma tertawa. Katanya, lagu itu sekedar kekaguman Sang Sunan pada keajaiban yang sederhana. Simbah selalu membuatku tertidur. K, sebaliknya, menggelar dunia gaib dalam lagu untuk kujelajahi. Aku selalu nglangut, seketika hanyut.
Dia akan memasang rembulan di langit-langit sebelum memulai segalanya. Sebelum aku telentang di bawahnya. Sebelum dia membuka baju dan melipatnya satu-satu, lalu berbaring di sebelahku. Aku akan memeluknya dengan lembut. K akan mengelus kepalaku lalu menembangkan lagu itu. Mataku akan tertutup tapi tak tidur.
lir ilir lir ilir tandure wong sumilir
tak ijo royo royo
tak sengguh panganten anyar
cah angon cah angon penekna blimbing kuwi
lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira
dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir
dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
mumpung padang rembulane
mumpung jembar kalangane
sun suraka surak hiyo
Aku adalah padang yang semi. Dia berubah angin yang mengaliriku. Aku menjelma pohon yang licin. Dia anak gembala yang gigih memanjatku. Belimbingku akan penuh berair. Dia akan melahapnya dengan rakus. Dan kita jadi sama-sama koyak seperti baju itu. Sesudahnya aku dan dia akan saling basuh hingga bersih, sebelum dia menanggalkan rembulan itu dari langit-langit kamar, dan meninggalkanku penuh terjaga karena kekaguman sederhana yang tak habis-habis. Akan dia.
Lagi-lagi ketukan di pintu itu. Tiga kali dengan jeda seperempat detik di antaranya. Aku hapal sekali. Setelah dua tahun berbagi apartemen yang sama, tak ada yang tak kutahu tentang dia. Begitu kubuka, akan kutemukan wajah yang manis dan rambut awut-awutan, dengan mata sebening merjan dan senyum selebar wajan. “Sarapan?” ajaknya selalu. Aku akan membuntut di belakangnya seperti anjing yang setia—ke pantry kecil di sebelah ruang makan. Lalu pagi akan mulai dengan kopi, telur atau roti, dan cerita-ceritanya yang tak pernah basi.
Aku menunggu lagi. Tapi ketukan itu tak kembali. Tak ada juga suara langkah kaki di koridor yang kosong. Sesuatu yang padat tiba-tiba mengganjal di kerongkongan. Mataku mulai lembab. Di luar, salju turun pelan-pelan, membuat yang berwarna menjadi pucat. Yang pernah putih pun diputihkan lagi—jalan, atap-atap mobil, pohon-pohon dengan ranting yang kurus telanjang. Juga kanal lebar yang biasanya memantulkan langit.Tibatiba tembang itu terasa jauh. Sejauh padang hijau dan anak-anak gembala yang memanjat belimbing. Negeri itu telah lenyap sejak dia melangkah pergi dan menutup pintu di belakangnya.
Aku ingat pagi itu. Satu hari yang putih seperti ini. Satu hari setelah apa yang harus dilakukannya di sini selesai. K harus pulang. Aku bertanya, “Maukah kamu tinggal?” Dia cuma diam. “Maukah kamu memilih aku?” Dia cuma menangis.
Akhirnya dia berdiri di pintu dan pergi tanpa berkata apa-apa. Tapi K menyanyikan tembang itu sekali lagi supaya gemanya tinggal di tembok, di kasur, di sofa tua, dan terutama, di langit-langit. Dia pikir begitu. Sedetik setelah dia pergi, langit-langit itu kosong. Dia lupa memasang rembulan. Aku berdiri di pintu yang sama dan cuma bisa melihat: dia pernah di sini. (*)
Sumber: http://lakonhidup.wordpress.com/2010/01/28/tentang-tak-ada/

Boybandsuck


Gue bingung sama konsep boyband/girlband. Grup yang memiliki personel beberapa orang, yang nyanyi dan joget-joget ga jelas. Ini banyak personel dan mereka nyanyi semua, yang mana yang mau didengerin? Mending kalo suaranya bagus, pake lip sync aja, bangga. Lagian kan rugi kalo banyak personel, pasti pembagian budgetnya minim. Modal tampang yang pas-pasan dan ditambahkan dengan efek make up yang berlebihan. Konsep yang aneh.  Tapi menurut gue yang lebih aneh adalah penikmatnya. Lu itu diboongin, udah tau muka personelnya bikin sendiri, trus pas nyanyi cuma gerak-gerakin bibir pura-pura nyanyi padahal yang nyanyi itu teknologi di belakang panggung, begonya mereka masih suka. Atau memang mereka udah kebiasaan diboongin, jadi tetep aja suka sma boyband/girlband? Generasi muda kita miris.
Mereka latah, kaget inovasi jadi ga berani berinovasi duluan. Budaya followers selalu jadi alasan. Gara-gara K-Pop mewabah dan laku di negaranya, para orang idiot juga mulai mencoba peruntungan di Indonesia. Dan lahirlah sampah-sampah boyband/girlband. Kalian jual karya atau hanya mau ngikutin tren doang? Kalo Cuma cari eksistensi, di Negara kita ini mudah,seenggaknya berhentilah jadi followers.
Gue sih sebenernya masa bodoh dengan urusan lu suka boyband/girlband sampah itu. Cuma disini gue pengen buka mata kalian, masih banyak yang pantes buat kalian idolakan. Seenggaknya yang pure total pake bakat, bukan pake teknologi. Suara bisa dibilang pas-pasan, cuma dibantu sama teknologi lipsync, itu beberapa factor kenapa gue pribadi benci boyband.
Ini yang lebih parah, dan ini fakta, gue pernah liat seorang cewe, menjerit histeris sampe urat lehernya keliatan, pas ada boyband yang lagi tampil d TV. Ini fenomena aneh, aneh banget. Itu manusia, bukan malaikat, ga usah berlebihan kaya gitu. Lagian percumalu teriak-teriak ga karuan, para (semi) lelaki yang lu kagumin ga bakalan ngasih lu feedback. Tenaga lu percuma, mendingan pake buat hal-hal yang lebih berguna. (@nickname_rendy)

Pembuktian Akhir Hayat


Langkah kaki tegas seorang pria dewasa terdengar dari kejauhan di hari yang belum terlalu siang. Pria itu menuju mushalla kecil yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Mushalla yang sangat sederhana, yang besarnya kira-kira hanya cukup untuk menampung 50-an jamaah dengan tembok kumuh dan atap yang sudah using. Di situlah pria ini sering menghabiskan waktu untuk beribadah. Sesampainya di mushalla itu, dia mengambil air wudhu dan bersiap untuk shalat duha, rutinitas yang dia lakukan setiap hari sebelum dia pergi untuk bekerja.
Pria itu bernama Rizan, pria yang berperawakan tidak terlalu tinggi, tidak terlalu kurus tetapi mempunyai wajah rupawan yang menyejukan. Seakan-akan karisma senantiasa keluar dari tubuhnya. Di sebuah desa di kawasan yang terpencil dia tinggal bersama kedua orang tuanya. Rumah yang sangat sederhana, yang hanya terbuat dari bilik-bilik bambu dan beratapkan rumbia dengan hanya berlantaikan tanah, di situlah Rizan dan orang tuanya menetap. Sangat sederhana, bahkan bisa dibilang miskin. Ayah Rizan hanya bekerja sebagai kuli batu yang berpenghasilan sangat minim dan Ibunya hanya sebagai kuli cuci. Walaupun demikian terbatas kehidupannya, tetapi Rizan tidak pernah sekalipun mengeluh. Dia merasa sangat kaya, dia bersyukur dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya. Jika dibandingkan remaja sekarang, yang hanya mengejar dunia, tanpa memikirkan akhirat, hanya dapat menyombongkan kekayaan orang tuanya, berbeda jauh dengan kehidupan yang dijalani Rizan yang serba kekurangan tapi tetap bersyukur. Potret anak yang sangat diidamkan oleh orang tua manapun.
Hari ini, terakhir kalinya ia dapat melaksanakan ibadah di mushalla itu. Karena sebelum maghrib, dia akan berangkat, merantau ke ibu kota. Demi menggapai cita-citanya, mendapatkan rezeki dari jalan Allah. Orang tua Rizan sangat berat mengizinkan Rizan pergi, mereka tahu betul bagaimana keadaan ibukota. Terlebih lagi, Rizan hanya lulusan SMP dan tidak memiliki pengalaman apa-apa. Dia pernah bekerja, sama seperti ayahnya, tetapi apakah itu cukup untuk modalnya nanti di ibu kota? Jelas tidak! Saingan di ibu kota keras, seperti kata pepatah “ Lebih keras ibu kota daripada ibu tiri “. Inilah alasan yang memberatkan orang tua Rizan untuk memberikan restunya. Tekad Rizan sudah bulat, ia berniat memperbaiki kehidupan ia dan keluarganya, tanpa melanggar aturan islam. Apapun akan ia kerjakan, yang penting halal. Melihat tekad dari anaknya yang sangat besar, akhirnya orang tua Rizan mengizinkan. Hari keberangkatan akhirnya tiba. Dengan membawa pakaian secukpunya, dan membawa uang yang sangat tidak cukup, tetapi berbekal tekad, niat dan doa yang lebih dari cukup, Rizan pergi, tidak lupa ia mencium tangan kedua orang tuanya, seraya pamit.
“Bu, Pak, doakan Rizan ya! Allah pasti membantu hambanya yang membutuhkan. Rizan akan pulang kelak, jika sudah mampu dan memiliki istri. Assalamualaikum !”
Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya Rizan sampai di ibu kota. Uang yang dia punya, hanya cukup untuk membayar sebuah kos-kosan kecil dan untuk biaya hidupnya selama beberapa hari. Itu artinya ia harus segera mendapatkan pekerjaan. Rizan bingung, entah apa yang harus dia lakukan. Setelah beberapa saat berpikir, dia ingat tentang apa yang di katakan ustadz di daerahnya, bahwa bedagang adalah hal yang dianjurkan untuk mencari nafkah. Akhirnya Rizan melamar kerja sebagai pedagang roti keliling.
Dengan doa, dan izin Allah, akhirnya Rizan mendapatkan pekerjaan. Setiap hari dia menjajakan roti, tanpa kenal lelah. Walaupun dia bekerja keras, Rizan tidak pernah ketinggalan untuk melaksanakan ibadah, kewajiban yang harus ia lakukan sebagai umat muslim, tidak hanya itu, setelah selesai berjualan, dia kerap mengajarkan anak-anak di sekitar kosnya untuk mengaji. Gratis! Tanpa mengharapkan imbalan. Karena dia tahu, bahwa rezeki sudah di atur.
Keuntungan yang Rizan dapat dari 1 buah rotinya adalah Rp. 350-,. Dia bisa saja menaikan hatrga rotinya, seperti yang dilakukan pedagang lain, tapi Rizan tidak begitu. Tiap harinya ia dapat menjajakan roti sebanyak 200 buah, hasil yang lumayan untuk membiayai kehidupannya. Tiap hari, makin banyak roti yang terjual. Dalam 1 bulan saja, Rizan dapat mengantongi keuntungan sebesar 1 juta rupiah, ini semua diluar perkiraan Rizan.
Pada suatu hari, saat Rizan sedang menjajakan roti di sebuah pemukiman elite, dia bertemu seorang gadis, berjilbab, yang menggugah hatinya. Wanita itu membeli roti dari Rizan, di situlah awal pertemuan Rizan dan wanita itu. Ternyata, wanita itu jatuh cinta kepada Rizan, pria yang jujur, tekun dan shaleh. Wanita itu sangat mengidamkan suami seperti Rizan. Karena penasara, wanita itu berani mencari tahu tentang Rizan. Dia menanyakan nama da alamat tempat tinggal Rizan ke pabrik roti, tempat dimana Rizan bekerja.
Halimah nama wanita itu, berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya bekerja di bidang property. Bisa dibilang, ayah Halimah sukses dalam menjalankan bisninya. Halimah adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Halimah memiliki 2 kakak pria. Didikan ayah Halimah sangat disiplin, tetapi sayangnya mengenyampingkan masalah agama. Yang ada dipikiran ayahnya, hanya urusan dunia. Sukses dimatanya adalah bermateri melimpah, tanpa memikirkan kekayaan akhlak. Walaupun begitu, Halimah tidak serta merta meninggalkan masalah agama. Dia tetap shalat 5 waktu, dan menjalankan ibadah lainnya. Ini yang membuatnya berbeda dengan kakak-kakaknya. Dalam pikirannya, sangat penting mengejar kekayaan untuk bekal di akhirat, daripada memikirkan kekayaan dunia yang hanya sementara.
Setelah Halimah mendapatkan alamat Rizan, dia mengajak teman-temannya untuk belajar agama. Halimah mengetahui kalau Rizan mempunyai ilmu agama yang melampaui pria seusianya, ia pun tahu kalau Rizan sering membuka pengajian bersama di kosnya. Semua informasi ini dia dapatkan dari bos pemilik usaha roti, dimana Rizan bekerja. Niat Halimah, murni hanya ingin memperkaya ilmu agamanya, tetapi tidak dipungkiri perasaan cinta Halimah terhadap Rizan mulai terasa. Dia sering membayangkan, betapa bahagianya jika ia memiliki anak dari seorang pria yang taat beragama, Rizan akan menjadi suri tauladan yang baik buat anak-anaknya nanti. Ah! Itu hanya dalam benak Halimah saja, hanya khayalan saja. Tanpa sepengetahuan Halimah, Rizan pun menaruh perasaan terhadapnya. Dia jatuh cinta kepada sifat Halimah yang anggun, sederhana dan taat beragama. Dia berpikir, kenapa orang kaya, mau datang ke pemukiman kumuh tempat ia tinggal, padahal ayahnya bisa saja menyewa guru agama yang ilmunya lebih tinggi dibandingkan dia. Ini pula yang membuat Rizan semakin jatuh hati terhadap Halimah.
Pada satu waktu, setelah melakukan shalat ashar, Rizan memberanikan diri untuk meminta izin kepada Halimah, agar ia dapat melamarnya. Dia takut kepada Allah, kalau perasaan ini dipendam, akan timbul maksiat. Tanpa Rizan sangka, Halimah dengan senang hati menerima. Tetapi ada yang mengganjal di hati Rizan, ia takut menghadapi ayah Halimah yang notabene sebagai keluarga terpandang. Sedangkan Rizan, hanya pria yang desa yang bekerja sebagai pedagang roti. Sungguh tidak pantas ia mendapatkan seorang Halimah.
Dia sangat mencintai Halimah, mencintai seorang ciptaan Allah, yang didasari atas cintanya kepada Allah. Dia berpikir, semua umat manusia sama, yang membedakan hanya ketakwaannya saja. Dengan bermodalkan kalimat tersebut, Rizan memberanikan diri untuk melamar Halimah. Rizan menghadap orang tua Halimah di rumahnya. Baru sampai di halamannya, kaki Rizan gemetaran. Betapa megah bangunan ini. Dengan tekad yang kuat, Rizan masuk. Setelah menyampaikan salam, Rizan bertemu ayah Halimah.
“Kau pria yang bernama Rizan?” ucap ayah Halimah.
“Iya pak” jawab Rizan, tegas. Rizan berpikir dalam hati. Pasti Halimah telah menceritakan maksud kedatanganku kesini.
“Saya ingin melamar anak Bapak, apakah bapak berkenan?”. Rizan memulai perjuangannya untuk mendapatkan Halimah.
“Kenapa saya harus menerima lamaranmu? Apa yang kau punya?”
Pertanyaan ini tidak mengejutkan bagi Rizan. Sebagai orang terpandang, pertanyaan ini pasti dilontarkan. Dengan tenang Rizan menjawab.
“Saya hanya memiliki cinta dan cita-cita. Cinta yang didasari atas izin Allah SWT. Dan cita-cita untuk membuat Halimah menjadi istri yang shalehah. Diluar itu, saya akan melaksankan kewajiban saya sebagai seorang suami. Dengan menafkahi Halimah lahir batin. InsyaAllah, itu cukup”
“Hahahahaha, apa yang kau pikirkan anak muda? Semua yang kau butuhkan didunia ini, harus dibayar dengan uang. Bagaimana caranya kau membahagiakan anakku, sedangkan kau hanya bekerja sebagai tukang roti keliling” ejek ayah Halimah. “Begini saja, saya beri waktu 3 bulan. Bila engkau sudah sukses kembalilah kesini. Dengan senang hati saya akan mengizinkan engkau meminang anak saya. Selama waktu tersebut, kau tidak boleh bertemu dan berkomunikasi dengan Halimah”.
Rizan berpikir sejenak. Dia rela berkorban, asalkan itu demi kebahagiaan Halimah.
Dengan lantang dia menjawab. “InsyaAllah, saya mampu. Saya akan buktikan, kalau saya bisa sukses dan dapat membahagiakan Halimah”.
Kesepakatan pun terjadi, dia menceritakan semuanya kepada Halimah. Halimah senang, sekaligus sedih. Dia senang, karena Rizan rela berkorban untuknya. Ia sedih, karena ayahnya menolak lamaran Rizan. Yang ia dapat lakukan sekarang, hanya berusaha dan berdoa.
Ada fakta memilukan yang tidak diketahui Rizan. Ternyata Halimah memiliki penyakit mematikan, yang lambat laun telah menggerogoti tubuhnya. Halimah sadar akan hal itu, tetapi dia tidak mau menceritakan hal tersebut kepada Rizan.
Tidak terasa telah hampir 3 bulan, Rizan telah membuktikan bahwa ia bisa sukses. Dengan modal uang yang dia tabung dan ketekunan dia bekerja, serta tidak lupa berdoa, dia dapat membangun pabrik roti sendiri. Dia telah memiliki sebuah rumah dan mobil pribadi. Dia senang, karena sebentar lagi dia dapat bertemu Halimah.
Pada suatu sore, rumah Rizan kedatangan seorang tamu. Tamu penting. Orang yang sangat ingin Rizan temui. Dia adalah ayahnya Halimah. Rizan telah mendapatkan firasat buruk. Entah apa yang ia pikirkan sekarang. Ia coba menyangkal pikiran itu, tetapi pikiran itu terlalu kuat.
“Halimah membutuhkanmu sekarang. Dia dirawat di Rumah Sakit, karena penyakit yang ia derita. Bisakah engkau membantuku untuk menemui Halimah?” ajak Ayah Halimah.
Hati Rizan tercabi-cabik mendengar kabar itu. Dia sangat sedih. Entah apa yang harus dia lakukan. Dengan wajah yang tidak berekspresi, dia menjawab “Iya pak, kita segera ke Rumah Sakit sekarang”.
Betapa terkejutnya Rizan, sesampainya ia di Rumah Sakit. Rizan melihat keadaan Halimah yang begitu memprihatinkan. Selama ini, Halimah telah menderita kanker rahim stadium akhir. Sudah terlambat untuknnya menjalankan operasi, karena kankernya sudah menyebar. Vonis dokter mengatakan, bahwa Halimah hanya berumur 3 bulan lagi.
Walau masih dalam keadaan sadar, Halimah sangat rapuh. Tubuhnya sangat lemah. Banyak peralatan dokter yang ditempatkan pada tubuhnya. Dia dapat mendengar suara Rizan. Halimah tersenyum lemah. Sekarang adalah hari dimana Rizan harus membuktikan, bahwa ia dapat menjalankan syarat yang telah diberikan oleh ayah Halimah.
“Bolehkah saya melamar anak Bapak sekarang” suara Rizan terdengar lirih, menahan haru.
“Tentu saja nak, asal Halimah senang”. Jawab ayah Halimah.
Setelah melakukan ritual lamaran, Halimah tersenyum. Dia sangat menantikan hari ini datang kepadanya. Doa yang ia panjatkan terkabul. Rizan mengecup kening Halimah lembut. Sungguh ini cinta yang kuat, yang didasari atas cintanya Halimah dan Rizan kepada sang khalik.
Beberapa jam setelah itu, Halimah kritis. Alat pacu jantung dipasang di dada Halimah. Tetapi itu tidak berpengaruh. Tidak ada tanda-tanda kalau Halimah akan sadar. Rizan menangis sejadi-jadinya. Dia trenyuh melihat wanita yang baru saja menjadi istrinya terbaring tak berdaya. Nyaris mati. Sempat Rizan membisikan kalimat syahadat di telinga Haliamah, tanpa disangka, Halimah sadar. Dia mengucapkan kalimat yang sama. Kalimat itulah yang dia ucapkan di akhir hayat Halimah. Rizan ikhlas menerima kepergian Halimah. Dia bersyukur, walaupun hanya sebentar, dia dapat merasakan cinta yang tulus diluar cinta yang tulus yang ia berikan kepada Allah. Rizan berucap “Innalilahi wa inalilahi roziiun. Alhamdullilah”.
Rizan menuliskan surat kepada orang tuanya di desa.
“assalamulaikum. Ibu, Bapak, alhamdulilah, dengan bantuan Allah dan kerja keras, anakmu dapat hidup berkecukupan di kota orang. Aku akan pulang, kelak. Untuk membahagiakan Ibu dan Bapak. Tetapi maaf, aku melanggar janji, aku tidak dapat membawa istriku untuk menghadap. Aku telah menikah, tetapi istriku telah hidup bahagia. Di sana, di surga. Dimana tempat kita berada kelak, kekal, abadi. Aku berharap, ibu dan bapak berada di sini, menemani keseharianku. Menamaniku mengaji. Memberiku nasehat. Sekian dulu surat dariku. Wassalam”. Anakmu.
Rizan tidak pernah menikah untuk yang kedua kali. Karena dia percaya, jika orang yang kita cintai lebih dahulu meninggalkan kita, dan kita setia untuk menjaga cinta itu. Maka kelak kita akan bertemu kembali di surga. Amin. (@nickname_rendy)

JAM KARET



Pada tahu karet kan? Karet itu suatu komoditi yang jadi bahan baku ban dan sejenisnya. Sifatnya elastis, bisa ditarik dan dimanipulasi sedemikian rupa. Tapi kalau di sini, waktu yang bisa ditarik, elastis dan dapat dimanipulasi sedemikian rupa. Fenomena ini biasa disebut dengan istilah jam karet.
Jam karet di Kota Palu sudah sangat membudaya, mengakar, dan menjadi kebiasaan. Mulai dari Mahasiswa, Dosen, Anggota DPR yang (kurang) terhormat, sampai Tokoh Agama. Dari mulai orang yang kaya, sederhana, hingga miskin. Bisa dibilang, 90% masyarakat yang tinggal di Kota Palu menganut paham jam karet ini. Jam karet bisa saya kategorikan sebagai penyakit dan bersifat addictable. Penyakit yang belum ditemukan obatnya (bahkan dengan metode rukiyah), kalau sudah stadium 4 bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Lebih candu daripada narkoba, kalau penderitanya sudah mencoba sekali, pasti akan terulang lagi dan lagi. Ini kenyataan, dan di kampus saya malah aneh kalau ada orang yang on time.
Penyakit ini sudah mewabah di sini, entah sejak kapan dan sampai kapan. Jam karet itu termasuk korupsi; iya, korupsi waktu. Malah menurut saya, korupsi ini lebih parah daripada korupsi uang. Coba perhatikan; para begundal- begundal berdasi yang dianggap berintelektual dan sayang rakyat (bullshit), korupsi uang Negara triliunan. Tapi setidaknya kalau mereka sudah diadili, uang itu (katanya) bisa balik lagi ke Negara. Coba bandingkan dengan korupsi waktu, kalaupun pelakunya sudah divonis bersalah, waktu yang mereka rugikan, sudah pasti tidak kembali kan? Waktu bukan punya Negara, jadi Negara tidak rugi kalau di petik sebanyak apapun, tapi justru diri kalianlah yang rugi. Sangat rugi.

Bagaimana kalau kita berinovasi dan membuat suatu lembaga yang mengadili para pencuri waktu? Memberi nama organisasi itu “Time Stalker” misalnya. Keren kan? Terus kalau terwujud, kita tentu mengadili siapapun yang korupsi waktu. Sewajarnya sebuah organisasi, harus ada ketuanya. Kita (masih berangan-angan) cari ketua yang pasti tidak menganut sistem jam karet. Kita audisi sekian ribu orang yang berminat.
Ah, tapi setelah saya pikir- pikir, orang yang seperti itu susah ditemukan, susah luar biasa, ibarat mencari sebuah jarum di tumpukan jerami. Lagipula tidak mungkin kan “Stalker”nya 100, tapi penderitanya 10.000? tidak akan efektif. Kalau begitu biarlah ini hanya menjadi angan- angan saja, toh berangan- angan juga gratis.
Jangan kesampingkan masalah jam karet, sebut saja ini termasuk masalah vital yang bisa berakibat fatal. Kota yang katanya mau jadi Kota yang maju, tidak akan bisa maju- kalau masih punya masalah ini. Adanya jalan di tempat. Lihatlah, karena kita pernah menjadi penderita jam karet, sebagian mungkin tidak sadar kalau Kota ini tertinggal. Kita selalu menjadi followers, tanpa berusaha untuk menjadi leader. Selalu terbelakang dari segala aspek.
Ini masalah kecil, kita harusnya sadar, kalau kita juga penderita. Tanamkan budaya “On Time” pada diri sendiri. Agar sekiranya tidak disadarkan orang lain terus? Lebih tolol lagi, kalau sudah diingatkan, tapi tidak sadar- sadar.
The point is; kalau kita mau move on dari keterpurukan, kita harus bisa binasakan kebiasaan ini. Mulai dari diri sendiri, kemudian sampaikan ke orang lain. Setidaknya kita jadi suri tauladan buat orang di dekat kita. Nah, kalau semua sudah sadar, saya yakin, lambat laun kota Palu pun mampu menjadi leader bagi kota- kota lain. (@nickname_rendy)